Rabu, 10 September 2014

ANALISIS KEDUDUKAN TEORI HEGEMONI GRAMSCI DALAM PERISTIWA PENUMPASAN PGRS-PARAKU

ANALISIS TENTANG KEDUDUKAN TEORI HEGEMONI GRAMSCI PADA PERISTIWA PENUMPASAN PGRS-PARAKU


Oleh : Fahmi Febri Pratama, A.Md

Sekilas tentang Antonio Gramsci


         Antonio Gramsci (lahir di Ales, Italia, 22 Januari 1891 – meninggal 27 April 1937 pada umur 46 tahun) adalah filsuf Italia, penulis, dan teoritikus politik. Anggota pendiri dan pernah menjadi pemimpin Partai Komunis Italia, Gramsci sempat menjalani pemenjaraan pada masa berkuasanya rezim Fasis Benito Mussolini. Tulisan- tulisannya menitikberatkan pada analisis budaya dan kepemimpinan politik. Ia dianggap sebagai salah satu pemikir orisinal utama dalam tradisi pemikiran Marxis. Ia juga dikenal sebagai penemu konsep hegemoni budaya sebagai cara untuk menjaga keberlangsungan negara dalam sebuah masyarakat kapitalisme. Selama hidupnya, Gramsci dikenal sebagai penulis sekaligus teoritikus. Termasuk pula, pemikirannya mengenai teori Marxis, teori kritis dan teori lain mengenai pendidikan.

         Gramsci dipandang banyak pihak sebagai pemikir Marxis paling penting di abad ke- 20, khususnya sebagai pemikir kunci dalam perkembangan Marxisme Barat. Ia menulis lebih dari 30 buku catatan dan 3000 halaman sejarah dan analisis selama di penjara. Tulisan- tulisan ini, yang kemudian dikenal luas sebagai Buku Catatan Penjara (Prison Notebooks), berisi penelusuran Gramsci terhadap sejarah dan nasionalisme Italia, selain pemikiran mengenai teori Marxis, teori kritis dan teori pendidikan yang berkaitan dengan dirinya, seperti :

1. Hegemoni Budaya sebagai cara untuk menjaga keberlangsungan negara kapitalis
2. Pentingnya pendidikan buruh populer untuk mendorong perkembangan intelektual dari kelas pekerja
3. Pemisahan antara masyarakat politis (polisi, tentara, sistem legal, dsb) yang mendominasi secara langsung dan koersif, dan masyarakat sipil (keluarga, system pendidikan, serikat perdagangan, dsb) di mana kepemimpinan dikonstitusionalisasi melalui ideologi
4. 'Historisisme Absolut'
5. Kritik determinisme ekonomi
6. Kritik materialisme filosofis






Teori Hegemoni menurut Antonio Gramsci

         Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan hegemoni itu? hegemoni berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ‘Eugemonia’. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Encylclopedia Britanica dalam prakteknya di Yunani, diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang di klaim oleh negara-negara kota (polism atau citystates) secara individual misalnya yang dilakukan oleh negara Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain yang sejajar.

Teori hegemoni yang dicetuskan oleh Gramsci adalah sebagai berikut :

         “ Sebuah pandangan hidup dan cara berfikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan ; ideologi mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.”

Sekilas Peristiwa PGRS-PARAKU

         Terjadinya peristiwa Mangkok Merah tidak bisa dilepaskan dari upaya penumpasan pemerintah Orde Baru terhadap Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) dan Pasukan Gerakan Rakyat Sarawak (PGRS) yang memang didominasi oleh warga etnis Cina. Dan penumpasan PGRS-Paraku ini merupakan bagian dari upaya Orde Baru menumpas seluruh kekuatan politik kiri/komunis pasca tragedi 1965. Terbentuknya PGRS-Paraku ini sendiri sangat terkait dengan persitiwa konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia dari tahun 1963 hingga 1966. Konfrontasi yang didasari oleh penolakan pemerintah Indonesia terhadap pembentukan Federasi Malaysia ini melibatkan warga Cina Kalimantan Utara, yang juga memiliki sikap sama dengan Indonesia, yakni menentang pendirian Federasi Malaysia yang didukung penuh oleh Inggris. Penolakan warga Cina ini didasari oleh kecemasan akan adanya dominasi warga Melayu Semenanjung Malaya terhadap rakyat Kalimantan Utara, khususnya warga Cina. Wilayah Kalimantan Utara yang juga merupakan koloni Inggris, seperti halnya Semenanjung Malaya, memang dimasukkan kedalam teritori Federasi Malaysia oleh para penggagasnya, tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan seluruh rakyat Kalimantan Utara. Bung Karno selaku Presiden Indonesia kala itu, yang memang sangat anti terhadap imperialisme, menganggap Federasi Malaysia tak lebih sebagai produk imperialis Inggris guna mempertahankan eksistensinya di Asia Tenggara serta mengganggu jalannya revolusi Indonesia. Karena itu, Bung Karno menyerukan penghancuran negara ‘boneka’ Malaysia tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah ‘Ganyang Malaysia’. Dan dalam upayanya ‘mengganyang’ Malaysia, pemerintahan Bung Karno pun mengikutsertakan sebagian rakyat Kalimantan Utara yang juga menolak pembentukan Federasi buatan Inggris itu.

         Bung Karno lalu menugaskan salah satu menterinya, Oei Tjoe Tat, untuk menggalang kekuatan warga Cina Kalimantan Utara yang anti- Malaysia guna mendukung konfrontasi melawan Malaysia dan Inggris. Hasilnya, hampir 900 orang Cina Kalimantan Utara berkenan pindah ke daerah Kalimantan Barat untuk kemudian diberikan pelatihan kemiliteran dan dipersenjatai oleh pemerintah Indonesia. Ratusan orang Cina inilah yang kemudian membentuk PGRS-Paraku dan berada dibawah komando seorang perwira Angkatan Darat (AD) yang dekat dengan kelompok kiri, yakni Brigadir Jenderal Supardjo, yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Komando Tempur IV Mandau. Buku Sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jilid IV (1966-1983) mengakui bahwasanya PGRS-Paraku adalah pasukan yang dilatih dan dipersenjatai oleh TNI. Buku itu juga menyebutkan para anggota kedua pasukan itu adalah orang- orang Cina pro- komunis yang diandalkan oleh pemerintah Indonesia untuk menghadapi Malaysia- Inggris. Namun, PGRS-Paraku bukanlah pasukan etnis yang eksklusif. Mereka juga mengorganisir orang-orang dari suku Dayak dan Melayu untuk melakukan serangkaian penyusupan ke wilayah Kalimantan Utara seperti Sarawak dan Brunei. Yang patut diketahui pula, penganjur perlawanan rakyat Brunei terhadap Malaysia pada tahun 1962 yang juga sekaligus pemimpin Partai Rakyat Brunei, Doktor Azhari, merupakan sekutu PGRS-Paraku.

         PGRS-Paraku pun bahu- membahu bersama TNI dan sukarelawan Indonesia menghadapi pasukan Malaysia yang dibantu balatentara Gurkha, Inggris, dan Australia sepanjang masa konfrontasi. Wilayah perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Kalimantan Utara menjadi area perjuangan pasukan PGRS-Paraku. Seorang peneliti Cina, Benny Subianto, mengungkapkan keperkasaan gerilyawan PGRS-Paraku ketika melawan pasukan Gurkha Inggris. Kedua pasukan itu hampir berhasil menghancurkan garnisun 1/2 British Gurkha Rifles dalam sebuah serangan terhadap distrik Long Jawi tanggal 28 September 1963. Buku A Face Lik e A Chick en Back side-An Unconv ent ional Soldier in Malaya and Borneo 1948-1971 karya JP Cross juga mencatat kehebatan serangan relawan Indonesia serta PGRS-Paraku ditempat sama yang menewaskan beberapa prajurit Gurkha dan anggota Border Scout . Dari fakta- fakta sejarah tersebut, tampak betapa PGRS-Paraku menjadi pahlawan bagi Indonesia selama era konfrontasi.




Kontra Konfrontasi

         Namun, kepahlawanan pasukan PGRS-Paraku itu segera hilang setelah meletusnya tragedi politik tahun 1965, yang kemudian menegasikan peran politik Bung Karno serta kekuatan kiri/komunis selaku pendukung utama konfrontasi terhadap Malaysia. Pembantaian besar- besaran simpatisan kiri di seluruh wilayah Indonesia yang dilakukan oleh pihak TNI- AD, kelompok agamis serta nasionalis kanan telah berdampak besar bagi eksistensi PGRS-Paraku yang didominasi oleh orang Cina berideologi kiri. Eksistensi PGRS-Paraku semakin terganggu ketika pemerintah Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto yang menggantikan Bung Karno tidak berniat untuk melanjutkan konfrontasi terhadap Malaysia dan Inggris. Hal ini tidak mengherankan, karena memang ada dukungan dari negara- negara imperialis, termasuk Inggris, terhadap Soeharto ketika merebut kekuasaan dari Bung Karno. Padahal PGRS-Paraku merupakan gerilyawan yang sengaja dibentuk oleh pemerintahan Bung Karno guna menggagalkan pembentukan negara boneka Malaya- Inggris. Tendensi politik anti-komunis rezim Orde Baru, serta keinginan untuk berdamai dengan Malaysia- Inggris inilah yang kemudian menempatkan PGRS-Paraku sebagai musuh pemerintah Indonesia dan TNI. Maka, penumpasan terhadap mereka pun dilakukan, sebagaimana yang juga telah dilakukan kepada seluruh golongan kiri dan Soekarnois di berbagai daerah. Bahkan TNI bersekutu dengan militer Malaysia dan inggris dalam penumpasan PGRS-Paraku. Inilah ironi sejarah!

         TNI juga memiliki ‘julukan’ baru bagi PGRS-Paraku, yakni Gerombolan Tjina Komunis (GTK). Perang antara TNI dengan gerilyawan PGRS-Paraku meletus, salah satunya yang terjadi di Pangkalan Udara Sanggau Ledo, Kalimantan Barat. Memasuki tahun 1967, operasi penumpasan diintensifkan oleh pemerintah Orde Baru melalui Operasi Sapu Bersih (Saber) I, II, dan III yang digelar sejak April 1967 hingga Desember 1969 dibawah komando Brigadir Jenderal AJ Witono. Dalam Operasi Saber inilah peristiwa “Mangkok Merah” terjadi pada bulan Oktober- November 1967. Peristiwa Mangkok Merah sendiri dipicu oleh terjadinya penculikan dan kekerasan yang dialami Temenggung Dayak di Sanggau Ledo. TNI kemudian mempropagandakan bahwa kekerasan itu dilakukan oleh GTK alias PGRS-Paraku. Propaganda ini diperkuat lagi dengan penemuan sembilan mayat oleh Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang kemudian mereka sebut sebagai mayat tokoh- tokoh Dayak.

           Tak pelak, temuan RPKAD ini membuat marah banyak warga Dayak. Ditambah lagi, Harian milik TNI, Angkatan Bersenjata (AB), segera ‘mengipas-ngipas’ orang Dayak agar membalas kematian para pemuka adat mereka. Kekerasan horizontal pun dimulai. Warga Dayak terprovokasi untuk turut bersama TNI melakukan perburuan terhadap anggota PGRS-Paraku. Namun, gerakan penumpasan oleh orang Dayak ini ternyata tidak hanya menyasar anggota PGRS-Paraku saja, tetapi juga warga etnis Cina secara umum. Wilayah Kalimantan Barat pun segera tenggelam dalam ‘lautan’ kekerasan berdarah bernuansa rasialis. Sebenarnya, kekerasan rasialis yang dilakukan warga Dayak ini tidaklah murni inisiatif mereka mengingat harmoni diantara etnis Dayak dan Cina di Kalimantan Barat telah terbangun selama ratusan tahun. Rusaknya hubungan yang harmonis ini terjadi dikarenakan strategi penumpasan PGRS-Paraku yang digunakan militer Indonesia adalah dengan cara ‘pengeringan kolam’.

         Menurut Indonesianis asal Amerika Serikat (AS), Herbert Feith, pengertian dari istilah ini adalah : mengeringkan ‘kolam berarti menghabisi masyarakat Cina, agar ‘ikan’ atau yang dalam kasus ini diasosiasikan kepada pihak gerilyawan PGRS-Paraku bisa mudah terlihat dan dengan begitu juga mudah untuk ditumpas. Dan warga Dayak tak lebih Sebagai operator dari implementasi strategi militer tersebut. Gerakan Warga Dayak yang disokong TNI sebagai upaya melakukan “pengeringan kolam” terhadap warga Cina inilah yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Mangkok Merah. Istilah Mangkok Merah diambil dari terminologi adat suku Dayak, dimana terjadi mobilisasi besar- besaran warga suatu klan untuk membalas rasa malu atau penderitaan dari anggota klannya yang disebabkan oleh ulah warga dari klan lain. Mobilisasi ini menggunakan alat peraga sebuah mangkuk yang bagian dalamnya diolesi getah jaranang berwarna merah sebagai simbolisasi dari “ pertumpahan darah “yang akan dilakukan sebagai bentuk balas dendam tersebut. Jadi, tampak militer dengan lihai memanfaatkan adat istiadat suku Dayak demi mengobarkan konflik rasialis.

         Hasil dari peristiwa ‘Mangkuk Merah’ ini adalah terbunuhnya ribuan orang Cina Kalimantan Barat. Far East ern Economic Rev iew (FEER) terbitan bulan Juni 1978 menyatakan peristiwa tersebut menelan korban jiwa 3.000 orang Cina, terutama mereka yang tinggal di pedalaman Kalimantan Barat. Akibatnya, banyak warga Cina pedalaman pindah ke daerah perkotaan seperti Pontianak dan Singkawang. Bahkan, adapula warga Cina yang lari ke Kalimantan Utara. Peristiwa Mangkok Merah pun menjadi bagian dari catatan kelam riwayat pembantaian massal dan penindasan terhadap golongan kiri dan etnis Cina diawal Orde Baru. Sejarah telah menunjukkan, bahwasanya dibutuhkan banyak tumbal manusia bagi tegaknya sebuah rezim kaki- tangan imperialis. Peristiwa ini juga merefleksikan sebuah tragedi kemanusiaan yang lahir sebagai buah dari ‘perkawinan’ antara imperialisme dan rasialisme.

Analisis Kedudukan Teori Gramsci Pada Peristiwa Penumpasan PGRS-PARAKU

        Berdasarkan peristiwa tentang PGRS-PARAKU yang dijelaskan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa teori yang dikemukan Gramsci tentang hegemoni sesuai dengan apa yang terjadi pada peristiwa penumpasan PGRS-PARAKU. Menurut Gramsci hegemoni adalah : “Sebuah pandangan hidup dan cara berfikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan ; ideologi mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.” Kedudukan teori Gramsci dalam peristiwa penumpasan PGRS-Paraku adalah selaras, dimana artinya teori Gramsci sesuai dengan keadaan yang terjadi pada saat peristiwa penumpasan PGRS-Paraku. Pada saat peristiwa penumpasan PGRS-Paraku ada konspirasi yang dilakukan oleh pemerintah melalui TNI-AD dan RPKAD, dimana TNI melakukan penangkapan dan penyiksaan terhadap temenggung dayak di Sanggau Ledo. Setelah itu TNI melakukan propaganda dengan menuduh penangkapan dan penyiksaan tersebut dilakukan oleh pasukan PGRS-Paraku yang mereka beri gelar baru yaitu Gerombolan Tjina Komunis (GTK). Selain itu mereka juga menyebar isu bahwa semua etnis Cina adalah Komunis, dan ideologi Komunis sangat berbahaya sehingga harus dihapuskan.

         Akibat dari propaganda ini maka terjadilah peristiwa berdarah yang dikenal dengan nama peristiwa Mangkok Merah, yaitu suatu peristiwa dimana masyarakat Dayak membantai masyarakat etnis Cina yang ada di pedalaman, karena propaganda yang ditanamkan oleh TNI sehingga mereka menganggap semua etnis Cina adalah komunis yang harus dihapuskan. Peristiwa mangkok merah adalah salah satu peristiwa kelam dalam sejarah di Kalimantan Barat, yang dikenal sebagai salah satu peristiwa pembantaian berlatar belakang rasialisme terparah. Jika dikaitkan dengan teori Hegemoni Gramsci, peristiwa penumpasan PGRS-Paraku ini memiliki kedudukan yang selaras. Dengan ideologi yang dibentuk oleh pemerintah orde baru, bahwa komunis adalah hal buruk yang harus dimusnahkan, dan anggapan suku dayak bahwa semua etnis Cina adalah komunis, maka terjadilah peristiwa rasialis yang menjadi sejarah kelam di Kalimantan Barat. Ideologi baru tersebut akhirnya mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral. Masyarakat suku dayak menjadi kejam dan melupakan cita rasanya terhadap sesama manusia khususnya etnis Cina yang dulu sama-sama berjuang untuk mencegah masuknya pengaruh Inggris, kebiasaan moral mereka yang memiliki rasa toleransi yang kuat, prinsip-prinsip religius dan politik dimana mereka lupa akan Tuhan dan Hukum dan akhirnya melakukan pembantaian secara kejam terhadap etnis Cina, hubungan-hubungan sosial yang sudah terjalin baik dengan etnis Cina, serta makna intelektual dimana mereka tidak lagi menggunakan akal pikirannya hingga akhirnya membantai secara kejam sekitar 3.000 etnis Cina, saat itu mereka benar-benar hanya bertindak berdasarkan amarahnya, tanpa memperdulikan lagi apakah yang mereka lakukan benar atau salah. Padahal berdasarkan sejarah, masyarakat dayak dan etnis Cina di pedalaman pernah bekerja sama dalam menentang terbentuknya negara boneka buatan Inggris, yaitu negara Federasi Malaysia. Hal ini tidak terlepas dari propaganda yang dilakukan oleh pemerintah lewat TNI, hanya demi untuk menghapuskan Komunis di Indonesia sampai harus mengorbankan orang-orang tidak bersalah. Mereka yang dulu sama-sama berjuang, akhirnya malah harus saling membenci hanya karena kepentingan oknum. Hal inilah yang perlu kita pahami dan kaji dengan sebaik mungkin, agar peristiwa seperti tersebut tidak terjadi lagi dimasa yang akan datang. Dimana ideologi keliru yang disebar akibat propaganda, akhirnya menciptakan suatu peristiwa rasialis yang berujung menjadi peristiwa berdarah.


Penulis adalah alumni Marketing Management Politeknik Pos Indonesia dan sekarang masih aktif sebagai mahasiswa Pendidikan Sejarah IKIP-PGRI Pontianak.