Kamis, 29 Januari 2015

SEJARAH MASJID BATU (NASRULLAH) TAHUN 1926-2014




SEJARAH MASJID BATU (NASRULLAH)
TAHUN 1926-2014

OLEH :
FAHMI FEBRI PRATAMA           221200146
KELAS B SORE
PENDIDIKAN SEJARAH


INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
(IKIP-PGRI)
PONTIANAK
2014/2015


Kata Pengantar



            Puji dan syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas ijinnya saya dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai bagian dari kewajiban saya sebagai mahasiswa dalam mata kuliah Metodologi Penelitian Sejarah.

            Terima kasih juga saya sampaikan kepada orang tua yang telah mendukung dan mendanai dalam penyusunan makalah ini, kepada Bapak Yuver Kusnoto, M.Pd selaku dosen yang telah membimbing saya, dan kepada semua pihak yang turut membantu dalam penelitian ini.

            Penelitian ini saya laksanakan sebagai bagian dari tugas mata kuliah Metodologi Penelitian Sejarah, dan juga sebagai bahan pembahasan, pembelajaran, dan diskusi di dalam kelas. Saya berharap penelitian ini dapat menambah sedikit pengetahuan kita, dan berguna dalam perkuliahan khususnya mata kuliah Metodologi Penelitian Sejarah. Demi kemajuan dalam pembelajaran, kritik dan saran sangat saya harapkan, agar ke depannya penelitian yang disusun menjadi lebih baik lagi.



                                                                                    Pontianak,      Januari 2015



           

                                                                                                   Peneliti



Daftar Isi
Kata Pengantar........................................................................................        i
Daftar Isi..................................................................................................       ii
Daftar Lampiran....................................................................................         iv
BAB I : PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang....................................................................          1
B.     Rumusan Masalah..............................................................           3
C.     Tujuan Penelitian...............................................................            3
D.    Manfaat Penelitian.............................................................           3
E.     Ruang Lingkup Penelitian................................................            4
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A.    Tinjauan Pustaka.............................................................  5
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
A.    Heuristik...........................................................................            8
B.     Kritik................................................................................ 8
C.     Interpretasi......................................................................              9
D.    Historiografi....................................................................  10
BAB IV : PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang Berdiri Dan Pendiri Masjid Batu......                  11
B.     Struktur Bangunan Masjid Batu..................................                 15
C.     Sejarah Masjid Batu Dari Tahun 1926-2014...............                  16

BAB V : PENUTUP
A.    Kesimpulan....................................................................               27
B.     Saran..............................................................................               28
Daftar Pustaka.................................................................................               29
Lampiran..........................................................................................               30

Daftar Lampiran
Foto-foto Hasil Penelitian.....................................................................          29

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Masjid adalah tempat ibadah bagi umat Islam, masjid adalah tempat suci yang dianggap sebagai rumah Allah. Keberadaan masjid menjadi penting sifatnya bagi umat muslim, karena selain tempat ibadah juga bisa menjadi tempat untuk mengajarkan agama dan tempat silaturahmi. Bahkan keberadaan masjid menjadi salah satu alasan bagi orang muslim untuk menetap atau tinggal di suatu daerah, karena jika terdapat masjid di daerah tersebut menunjukkan bahwa di daerah tersebut tinggal orang-orang muslim. Bahkan ada cerita tentang salah seorang pegawai negeri yang ditempatkan di suatu daerah yang belum diketahuinya, saat dia bertanya kepada ayahnya apa yang harus dilakukan, ayahnya hanya berpesan singkat “pergilah kesana dan lihatlah apakah di tempat itu ada masjid atau tidak, jika ada maka tinggallah, tetapi jika tidak maka pindahlah”. Hal ini menunjukkan seberapa pentingnya keberadaan masjid bagi orang muslim, sehingga menjadi syarat utama apabila ingin tinggal dan menetap di suatu daerah.
Begitu juga di Teluk Pakedai, dimana terdapat masjid yang cukup terkenal bahkan di wilayah Kalimantan Barat. Masjid ini adalah masjid Batu atau masjid Nasrullah, masjid ini terkenal karena merupakan masjid yang menjadi tempat mengajar salah satu ulama terkenal yaitu Haji Ismail Mundu yang merupakan Mufti (Ulama) Kerajaan Kubu. Masjid Batu merupakan masjid tertua dan pertama yang berdiri di Teluk Pakedai, serta menyimpan banyak sejarah. Tetapi masyarakat saat ini khususnya masyarakat Teluk Pakedai, masih banyak yang tidak mengetahui tentang sejarah dari masjid Batu ini. Padahal masjid ini ramai dikunjungi bahkan oleh masyarakat luar Teluk Pakedai, karena selain dekat dengan makam Haji Ismail Mundu, mereka percaya apabila memiliki keinginan atau do’a dan mengunjungi Masjid Batu, maka do’a mereka akan dikabulkan.
Dalam sejarahnya, masjid Batu digunakan oleh Haji Ismail Mundu untuk mengajar agama. Dengan adanya masjid Batu maka semakin ramai pula orang-orang yang berdatangan untuk belajar kepada Haji Ismail Mundu, baik itu orang-orang Bugis atau orang-orang Arab. Tetapi kondisi masjid sempat kurang terawat, yaitu saat kedatangan Jepang yang menjajah Indonesia. Masjid juga sudah beberapa kali mengalami renovasi, hal yang sangat wajar mengingat usia masjid yang sudah berumur 88 tahun. Bentuk masjid juga beberapa kali mengalami perubahan seiring dengan dilakukannya renovasi. Dulunya masjid Batu sangat ramai dikunjungi, karena lokasinya yang dekat dengan makam Haji Ismail Mundu. Orang-orang yang akan berziarah ke makam Haji Ismail Mundu akan singgah dahulu ke masjid Batu, mereka biasanya membaca doa selamat di masjid sebelum berziarah.
Untuk mengetahui lebih jelas tentang sejarah masjid Batu, maka peneliti mengangkat judul “Sejarah Masjid Batu (Nasrullah) Tahun 1926-2014” dalam penelitian kali ini.
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah ini berguna untuk mempermudah dalam melaksanakan penelitian. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
1.      Apa latar belakang berdirinya masjid dan siapa pendiri masjid Batu?
2.      Seperti apa struktur bangunan masjid Batu?
3.      Bagaimana sejarah masjid Batu dari tahun 1926-2014?

C.    Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan jawaban atas masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui latar belakang berdirinya masjid dan siapa pendiri masjid Batu
2.      Untuk mengetahui struktur bangunan masjid Batu
3.      Untuk mengetahui sejarah masjid Batu dari tahun 1926-2014

D.    Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1.      Menambah pengetahuan dan wawasan ilmiah tentang sejarah lokal Kalimantan Barat, khususnya sejarah masjid Batu
2.      Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pembaca supaya dapat digunakan sebagai tambahan bacaan dan sumber data dalam bidang sejarah
3.      Sebagai referensi untuk tulisan dengan tema sama yang akan dibuat berikutnya

E.     Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada hal-hal yang berkaitan dengan sejarah masjid Batu dari tahun 1926-2014.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Tinjauan Pustaka
Menurut buku Biografi Guru Haji Ismail Mundu Mufti Kerajaan Kubu, tahun 2006. Yang isinya berisi tentang riwayat hidup Haji Ismail Mundu, juga turut dibahas sedikit mengenai masjid Batu. Pada tanggal 4 Dzulhijjah 1345 H (1926 M) Guru Haji Ismail Mundu bersama dengan seorang murid dan sekaligus menjadi teman karibnya yang bernama Datuk Penghulu Haji Haruna bin Haji Ismail, beliau berasal dari desa Batu Pahat Johor Malaya, untuk membangun masjid Batu. Menurut keterangan dari salah seorang cucu Datuk Penghulu Haji Haruna bin Haji Ismail yakni Haji Harun al Rasyid, bahwa Datuk Penghulu Haji Haruna bin Haji Ismail adalah putra Bugis yang sudah lama tinggal di Malaya yang sekarang lebih dikenal dengan negara Malaysia. Sebutan Haruna berasal dari lafadz Harun, karena bahasa Bugis tidak mengenal lafadz yang diakhiri oleh huruf mati, maka lafadz Harun menjadi Haruna.
Partisipasi dan pengorbanan harta dan jiwa (amwal wal anfus) Datuk Penghulu Haji Haruna bin Haji Ismail sangat besar dalam keberhasilan pembangunan masjid Batu, sejak dari rencana awal pembangunannya, masjid Batu memang tidak menggunakan bahan dari kayu, melainkan hanya menggunakan bahan dari batu bata, oleh sebab itu dikenal dengan nama masjid Batu. Adapun nama masjid yang sebenarnya adalah masjid Nasrullah, nama Nasrullah sebenarnya baru diketahui setelah dilakukan renovasi masjid yang pertama tahun 1960 M. Kata tersebut ditemukan di ujung kubah masjid, masjid Batu baru mulai difungsikan sebagai tempat untuk shalat Jum’at pada tahun 1348H (1929M).
Arsitek pembangunan masjid Batu yang pertama dibawa langsung oleh Haji Haruna bin Haji Ismail dari Pontianak. Orang tersebut adalah Abdul Wahid bin Abu alias Wak Bangkik yang sangat berpengalaman dalam mengerjakan bangunan. Salah satu karyanya adalah membangun Lembaga Permasyarakatan Pontianak yang berada di Sungai Jawi. Hanya pada saat ini Lembaga Permasyarakatan tersebut telah diganti dengan rumah sakit Santo Antonius. Walaupun demikian sebelum membangun masjid Batu, Wak Bangkik terlebih dahulu ditest dengan membuat pagong atau pintu air di daerah Teluk Pakedai. Setelah satu tahun pagong tersebut dibuat dan ternyata tidak menunjukkan keretakan atau jebol akibat tendangan air, barulah Wak Bangkik dipercaya untuk membangun masjid Batu. Pagong yang dibuat Wak Bangkik bahkan masih ditemukan di Teluk Pakedai hingga sekarang.
Masjid  Batu telah mengalami beberapa kali renovasi sejak berdirnya, renovasi masjid Batu yang pertama dilakukan pada tahun 1960. Pada saat itu Guru Haji Ismail Mundu telah meninggal dunia dan masjid Batu dikoordinir oleh Haji Abbas bin Haji Supuk. Renovasi ini dilakukan karena pada saat itu masjid Batu telah berumur 34 tahun, sudah sangat rusak dan bocor. Usaha renovasi masjid Batu dilakukan sebagai hasil musyawarah yang dilakukan oleh murid-murid Haji Ismail Mundu. Pada tahun 1982 masjid Batu “Nasrullah” kembali mengalami perbaikan karena sudah banyak atapnya yang bocor. Inisiatif renovasi masjid Batu yang kedua ini dilakukan oleh Haji Ibrahim bin Haji Basir. Perbaikan masjid Batu yang kedua ini bekerjasama dengan pengurus masjid Batu yang saat itu telah terbentuk dan diketuai oleh Wak Amik bin Daeng Magangka. Kemudian pada tahun 2003 masjid Batu mengalami renovasi kembali, dari hasil musyawarah pada saat itu, Haji Riva’i bin Haji Abbas ditunjuk sebagai ketua pembangunan. Renovasi masjid ini bekerjasama dengan pengurus masjid Batu yang saat itu diketuai oleh Acong bin Abdul Hamid.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.    Heuristik
Heuristik merupakan langkah awal dalam penelitian sejarah untuk berburu dan mengumpulkan berbagi sumber data yang terkait dengan masalah yang sedeang diteliti. Misalnya dengan melacak sumber sejarah tersebut dengan meneliti berbagai dokumen, mengunjungi situs sejarah, mewawancarai para saksi sejarah. Pada tahap ini yang peneliti lakukan adalah mewawancarai  saksi sejarah, untuk mendapatkan data tentang sejarah masjid Batu dari tahun 1926-2014.
B.     Kritik
Kritik merupakan kemampuan menilai sumber-sumber sejarah yang telah dicari (ditemukan). Kritik sumber sejarah meliputi kritik ekstern dan kritik intern.
a.      Kritik Ekstern
Kritik ekstern di dalam penelitian ilmu sejarah umumnya menyangkut keaslan atau keautentikan bahan yang digunakan dalam pembuatan sumber sejarah, seperti prasasti, dokumen, dan naskah.Bentuk penelitian yang dapat dilakukan sejarawan, misalnyatentang waktu pembuatan dokumen itu (hari dan tanggal) atau penelitian tentang bahan (materi) pembuatan dokumen itu sndiri.Sejarawan dapat juga melakukan kritik ekstern dengan menyelidiki tinta untuk penulisan dokumen guna menemukan usia dokumen. Sejarawan dapat pula melakukan kritik ekstern dengan mengidentifikasikan tulisan tangan, tanda tangan, materai, atau jenis hurufnya.
b.      Kritik Intern
Kritik Intern merupakan penilaian keakuratan atau keautentikan terhadap materi sumber sejarah itu sendiri. Di dalam proses analisis terhadap suatu dokumen, sejarawan harus selalu memikirkan unsur-unsur yang relevan di dalam dokumen itu sendiri secara menyeluruh. Unsur dalam dokumen dianggap relevan apabila unsur tersebut paling dekat dengan apa yang telah terjadi, sejauh dapat diketahui berdasarkan suatu penyelidikan kritis terhadap sumber-sumber terbaik yang ada.
Pada tahap kritik peneliti berusaha untuk memilih apakah narasumber layak untuk dijadikan sumber sejarah, baik primer ataupun sekunder.

C.    Interpretasi
Interpretasi adalah menafsirkan fakta sejarah dan merangkai fakta tersebut hingga menjadi satu kesatuan yang harmonis dan masuk akal. Dari berbagi fakta yang ada kemudian perlu disusun agar mempunyai bentuk dan struktur. Fakta yang ada ditafsirkan sehingga ditemukan struktur logisnya berdasarkan fakta yang ada, untuk menghindari suatu penafsiran yang semena-mena akibat pemikiran yang sempit. Bagi sejarawan akademis, interfretasi yang bersifat deskriptif sajabelum cukup. Dalam perkembangan terakhir, sejarawan masih dituntut untuk mencari landasan penafsiran yang digunkan. Pada tahap ini peneliti menafsirkan fakta-fakta yang didapat dari sumber setelah melaksanakan kritik, untuk melakukan eksplanasi dari fakta-fakta yang didapat.

D.    Historiografi
Historiografi adalah proses penyusunan fakta-fakta sejarah dan berbagai sumber yang telah diseleksi dalam sebuah bentuk penulisan sejarah. Setelah melakukan penafsiran terhadap data-data yang ada, sejarawan harus sadar bahwa tulisan itu bukan hanya sekedar untuk kepentingan dirinya, tetapi juga untuk dibaca orang lain. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan struktur dan gaya bahasa penulisannya. Sejarawan harus menyadari dan berusaha agar orang lain dapat mengerti pokok-pokok pemikiran yang diajukan. Pada tahap ini, peneliti menuliskan sejarah tentang masid Batu dari tahun 1926-2014 berdasarkan hasil interpretasi.

BAB IV
PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang Berdiri Dan Pendiri Masjid Batu
         Masjid Batu terletak di Jalan Sepakat desa Teluk Pakedai Hulu, kecamatan Teluk Pakedai kabupaten Kubu Raya. Jarak dari pusat kecamatan menuju ke masjid Batu tidaklah terlalu jauh, sekitar ±3KM dari pasar Selat Remis. Masjid Batu berdiri pada tanggal 4 Dzulhijjah 1345 H (1926 M), merupakan masjid pertama di kecamatan Teluk Pakedai. Masjid ini dinamakan masjid Batu karena struktur bangunan masjid yang mayoritas terdiri dari batu bata, bahkan dalam rancangan awal masjid Batu sendiri rencananya tidak menggunakan kayu sama sekali dan hanya menggunakan batu. sehingga saat nama masjid ini belum diketahui namanya, masyarakat sekitar menyebutnya dengan masjid Batu. Masjid Batu didirikan sebagai tempat ibadah bagi umat muslim Teluk Pakedai, karena keberadaan masjid sangat penting bagi umat muslim. Dengan bertambahnya jumlah umat muslim di Teluk Pakedai, maka dibutuhkan juga tempat ibadah yang lebih besar. Haji Ismail Mundu beserta murid dan sahabat karibnya Haji Haruna Bin Haji Ismail, memiliki inisiatif untuk mendirikan masjid.
         Hal ini pun diutarakan beliau kepada murid-muridnya yang lain, dan mendapat tanggapan yang sangat baik. Bahkan salah seorang muridnya yaitu H.Doeng mewakafkan tanahnya yang terletak di desa Teluk Pakedai Hulu, H.Doeng adalah salah satu orang terkaya di Teluk Pakedai saat itu. Sedangkan dana pembangunannya merupakan sumbangan dari Haji Haruna Bin Haji Ismail dan dana sumbangan dari murid-murid Haji Ismail Mundu di Malaysia. Arsitek pembangunan masjid di datangkan langsung dari Pontianak oleh Haji Haruna Bin Haji Ismail, yaitu Abdul Wahid Bin Abu alias Wak Bangkik. Abdul Wahid Bin Abu juga merupakan arsitek Lembaga Permasyarakatan Pontianak yang sekarang berubah menjadi RS Santo Antonius. Sedangkan untuk pembangunan masjid dikerjakan oleh murid-murid Haji Ismail Mundu dan masyarakat sekitar. Tidak ada tanggal pasti kapan masjid selesai dibangun, yang diketahui hanyalah masjid Batu baru difungsikan sebagai tempat untuk shalat jum’at pada tahun 1348 H (1929 M).
         Berdirinya masjid Batu merupakan inisiatif dari Haji Ismail Mundu dan sahabatnya yaitu Haji Haruna Bin Haji Ismail. Haji Ismail Mundu adalah ulama tersohor dari kerajaan Kubu dari keturunan raja Sawito di Sulawesi Selatan. Beliau lahir pada tahun 1287 H yang bertepatan pada tahun 1870 M. Ayahnya bernama Daeng Abdul Karim alias Daeng Talengka bin Daeng Palewo Arunge Lamongkona bin Arunge Kaceneng Appalewo bin Arunge Betteng Wajo’ Sulawesi Selatan dari keturunan Maduk Kalleng. Sementara Ibunya bernama Zahra (Wak Soro) berasal dari daerah Kakap, Kalimantan Barat. Di masa kecilnya, Haji Ismail Mundu sudah mulai mendalami dan mengamalkan ajaran Islam secara bersungguh-sungguh. Dan di masa itu beliau belajar dengan beberapa guru, antara lain dengan Haji Muhammad bin Haji Ali, dengan waktu tujuh bulan, Haji Islmail Mundu berhasil belajar Al-Qu’ran dan mengkhatamkannya. Guru selanjutnya adalah Haji Abdul Ibnu Salam yang berdomisili di Kakap, kemudian beliau berguru dengan seorang mufti di Makkah, yaitu Sayyed Abdullah Azzawawi. Setelah puas belajar di Makkah, beliau kembali ke tanah Bugis dan belajar agama dengan Tuan Umar Sumbawa.
         Setelah usianya genap dua puluh tahun, Haji Ismail Mundu kemudian menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya. Di sana beliau mengakhiri masa lajangnya yang kemudian menikahi seorang gadis berdarah Arab yang bernama Ruzlan Alhabsyi. Mungkin Allah berkehendak lain, pernikahan dengan gadis Arab itu tak berlangsung lama. Istrinya pulang ke rahmatullah. Namun, rasa sedih itu diobati dengan menikah kembali dengan seorang gadis yang berasal dari Pulau Sarasan yang bernama Hajjah Aisyah. Benih-benih cinta benar-benar hanya diujung pelupuk mata, sebab biduk rumah tangga beliau bersama Hajjah Aisyah tak berlangsung lama, karena berpulang ke rahmatullah.
         Namun, kembali beliau membangun rumah tangga dengan menikahi seorang wanita yang berasal dari Desa Sungai Kakap Pontianak yang merupakan masih dalam ikatan keluarga (sepupu) yang bernama Haffa binti Haji Semaila. Dari pernikahan itu beliau mendapat tiga orang anak. Kembali, jiwa beliau di uji. Istri beliau meninggal saat melahirkan anak ketiganya. Sementara itu, anak-anak beliau juga meninggal di usia muda. Setelah itu, beliau kembali menikah untuk keempat kalinya dengan seorang wanita yang berkebangsaan Arab yang bernama Hajjah Asmah. Selanjutnya beliau menunaikan ibadah haji bersama istrinya. sembari beribadah, beliau kembali menemui gurunya untuk belajar ilmu agama yaitu Sayyed Abdullah Azzawawi. Pada tahun 1904 M, beliau kembali ke Indonesia, tepatnya di Desa Teluk Pakedai. Di desa itu beliau menggaungkan nilai-nilai Islam dengan cara merubah kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti adu ilmu dan perilaku kebatilan lainnya. Berkat kegigihan dan kerja keras beliau, desa itu kian membaik dan nilai-nilai Islam tumbuh dengan baik. Dengan itu, beliau mendapatkan simpati dari raja Kubu, sehingga beliau kemudian diangkat menjadi mufti di kerajaan Kubu pada tahun 1907 M. Dengan jabatan tersebut maka Haji Ismail Mundu menjadi tumpuan tempat untuk bertanya tentang masalah-masalah agama baik dari kalangan kerajaan maupun masyarakat luas, khususnya berbagai masalah yang berkaitan dengan problem yang dihadapi oleh kaum muslimin. Semua permasalahan yang diajukan kepada beliau, diupayakan dapat diputuskan dengan penuh bijaksana (hikmah) dan nasehat baik (mauidzah hasanah). Atas segala kemampuan dan kharisma serta besarnya pengaruh yang dimiliki oleh Haji Ismail Mundu, maka pada tanggal 31 Agustus 1930 (1349 H) beliau mendapat penghargaan dari pemerintah Belanda berupa bintang jasa dan Honorarium dari Ratu Wilhelmina. Pada tahun 1951 setelah kerajaan Kubu berakhir dan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, wedana Kubu yang pertama yaitu Gusti Jalma mengangkat Haji Ismail Mundu sebagai Hakim Mahkamah Kubu Pertama, tidak diketahui sampai kapan beliau menjabat sebagai Hakim Mahkamah Kubu. Pada tanggal 30 Jumadil Awal 1377 H (1957 M), kondisi kesehatan Haji Ismail Mundu karena usianya yang sudah tua. Akhirnya Haji Ismail Mundu wafat pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1377 H atau pada 16 Januari 1957 M.
         Sedangkan Haji Haruna Bin Haji Ismail adalah murid sekaligus sahabat karib Haji Ismail Mundu, beliau berasal dari desa Batu Pahat Johor Malaysia. Meskipun berasal dari Malaysia, Haji Haruna Bin Haji Ismail sejatinya adalah putra bugis yang lama menetap di Malaysia. Tetapi keinginannya untuk belajar agama membawanya ke Teluk Pakedai yang memang mayoritas penduduknya adalah masyarakat suku bugis dan bertemu dengan Haji Ismail Mundu yang akhirnya menjadi guru dan sahabat karibnya. Haji Haruna Bin Haji Ismail sangat berjasa dalam pembangunan Masjid Batu, karena dari dirinyalah sumber dana pembangunan masjid pertama berasal.

B.     Struktur Bangunan Masjid Batu
         Struktur bangunan masjid Batu cukup unik, karena bangunan masjid Batu yang tidak memiliki tiang penyangga besar seperti masjid pada umumnya. Hal ini dikarenakan pada awal pembangunannya masjid Batu dirancang untuk dibentuk seperti Ka’bah, yaitu berbentuk persegi empat. Bahan untuk membangunnya juga sebagian besar terdiri dari batu bata, sesuai dengan rancangan awal yang tidak menggunakan bahan dari kayu. Tetapi dalam pembangunannya masjid batu akhirnya tidak jadi dibentuk seperti Ka’bah, hal ini dikarenakan kurangnya dana untuk pembangunan masjid. Mahalnya harga batu bata yang digunakan menjadi alasan besarnya dana pembangunan masjid, selain itu biaya pengangkutan batu juga sangat mahal. Batu bata yang digunakan dalam pembangunan masjid berasal dari Malaya dan diangkut menggunakan perahu bandung (kapal air). Hal inilah yang akhirnya membuat rancangan awal yang berbentuk Ka’bah tidak dilanjutkan, bentuk masjid pun akhirnya dibuat menyerupai masjid pada umumnya, yaitu dengan menggunakan atap (kubah).
         Yang menarik lagi dari masjid Batu adalah jumlah pintu yang cukup banyak untuk ukuran masjid yang tidak terlalu besar, total ada delapan pintu termasuk pintu masuk utama yang dimiliki oleh masjid batu. Banyaknya jumlah pintu yang dimiliki masjid Batu merupakan amanah dari guru Haji Ismail Mundu, karena merupakan perintah yang terdapat dalam agama islam. Jadi tidak terkandung makna filosofis tentang banyaknya jumlah pintu, melainkan murni untuk mengikuti anjuran dalam agama islam.    

C.    Sejarah Masjid Batu Dari Tahun 1926-2014
1.      Periode Awal (Tahun 1926-1960)
         Masjid Batu berdiri pada tanggal 4 Dzulhijjah 1345 H (1926 M), merupakan masjid pertama di kecamatan Teluk Pakedai. Masjid ini dinamakan masjid Batu karena struktur bangunan masjid yang mayoritas terdiri dari batu bata, bahkan dalam rancangan awal masjid Batu sendiri rencananya tidak menggunakan kayu sama sekali dan hanya menggunakan batu. sehingga saat nama masjid ini belum diketahui namanya, masyarakat sekitar menyebutnya dengan masjid Batu. Masjid Batu didirikan sebagai tempat ibadah bagi umat muslim Teluk Pakedai, karena keberadaan masjid sangat penting bagi umat muslim. Dengan bertambahnya jumlah umat muslim di Teluk Pakedai, maka dibutuhkan juga tempat ibadah yang lebih besar. Haji Ismail Mundu beserta murid dan sahabat karibnya Haji Haruna Bin Haji Ismail, memiliki inisiatif untuk mendirikan masjid.
         Masjid Batu didirikan sebagai tempat ibadah bagi umat muslim Teluk Pakedai, karena keberadaan masjid sangat penting bagi umat muslim. Dengan bertambahnya jumlah umat muslim di Teluk Pakedai, maka dibutuhkan juga tempat ibadah yang lebih besar. Haji Ismail Mundu beserta murid dan sahabat karibnya Haji Haruna Bin Haji Ismail, memiliki inisiatif untuk mendirikan masjid.
         Hal ini pun diutarakan beliau kepada murid-muridnya yang lain, dan mendapat tanggapan yang sangat baik. Bahkan salah seorang muridnya yaitu H.Doeng mewakafkan tanahnya yang terletak di desa Teluk Pakedai Hulu, H.Doeng adalah salah satu orang terkaya di Teluk Pakedai saat itu. Sedangkan dana pembangunannya merupakan sumbangan dari Haji Haruna Bin Haji Ismail dan dana sumbangan dari murid-murid Haji Ismail Mundu di Malaysia. Arsitek pembangunan masjid di datangkan langsung dari Pontianak oleh Haji Haruna Bin Haji Ismail, yaitu Abdul Wahid Bin Abu alias Wak Bangkik. Abdul Wahid Bin Abu juga merupakan arsitek Lembaga Permasyarakatan Pontianak yang sekarang berubah menjadi RS Santo Antonius. Sedangkan untuk pembangunan masjid dikerjakan oleh murid-murid Haji Ismail Mundu dan masyarakat sekitar. Tidak ada tanggal pasti kapan masjid selesai dibangun, yang diketahui hanyalah masjid Batu baru difungsikan sebagai tempat untuk shalat jum’at pada tahun 1348 H (1929 M).
         Paska berdirinya masjid Batu, semakin ramai orang Bugis yang datang ke Teluk Pakedai. Selain itu, dengan adanya masjid Batu yang menjadi tempat ibadah dan tempat mengajar Haji Ismail Mundu, semakin ramai pula orang-orang Arab yang datang ke Teluk Pakedai. Hal ini dikarenakan istri Haji Ismail Mundu, yaitu Hj.Asmah binti Sayyid Abdul Kadir yang berkebangsaan Arab. Hal ini membuat terjadinya pernikahan antara orang-orang Bugis dengan orang-orang Arab di Teluk Pakedai. Orang-orang Bugis Teluk Pakedai pada saat itu mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani, hal ini dikarenakan kondisi geografis Teluk Pakedai yang dikelilingi oleh sungai, sehingga ikan yang tersedia sangat melimpah dan tanah yang subur untuk menanam tanaman seperti padi, kelapa, dan pinang. Hubungan yang baik dengan penjajah Belanda juga membuat maju kehidupan orang-orang Bugis di Teluk Pakedai, karena kondisi aman yang dirasakan masyarakat. Hubungan yang baik ini terlihat dari penghargaan yang diterima oleh Haji Ismail Mundu dari Ratu Belanda yaitu Ratu Wilhelmina, atas jasanya sebagai mufti kerajaan Kubu yang dapat memecahkan permasalahan masyarakat dengan bijak.
         Kedatangan Jepang ke Indonesia pada tahun 1942, yang menggantikan kedudukan penjajah Belanda, juga terasa di Teluk Pakedai. Sama seperti keadaan yang terjadi di Pontianak dan sekitarnya, dimana orang-orang yang berhubungan baik dengan Belanda ditangkap dan dibunuh oleh Jepang. Hal yang sama juga terjadi di Teluk Pakedai, hubungan baik dengan Belanda menjadi pemicu Jepang untuk berlaku kejam terhadap orang-orang Bugis di Teluk Pakedai. Hal ini membuat banyak orang-orang Bugis yang melarikan diri dari Teluk Pakedai, mereka pindah ke daerah Kakap, Pontianak dan sekitarnya. Kondisi Teluk Pakedai saat itu sangatlah sepi, dimana hanya sedikit saja orang yang tetap bertahan.
         Pada saat kedatangan Jepang, Haji Ismail Mundu sedang tidak berada di Indonesia, beliau sedang berada di tanah suci Makkah untuk mengajar agama. Kondisi Teluk Pakedai yang sepi juga berpengaruh terhadap kondisi masjid Batu, masjid menjadi sepi. Bahkan saat shalat Jum’at pun jumlah jama’ah yang shalat di masjid dapat dihitung dengan jari. Meskipun demikian ada sesuatu yang aneh dimana setiap shalat Jum’at ramai berdatangan dare’ (monyet) di depan masjid, seolah-olah mereka ikut melaksanakan shalat. Tetapi monyet-monyet ini tidak masuk kedalam masjid, melainkan hanya berbaris di halaman depan masjid dan tidak membuat keributan saat shalat Jum’at sedang berlangsung.
         Setelah Indonesia merdeka dan Jepang tidak berada lagi di Indonesia, orang-orang Bugis ada yang kembali ke Teluk Pakedai meski jumlahnya tidak banyak. Hal ini dikarenakan ada berita tentang meninggalnya Haji Ismail Mundu di Makkah, sehingga mereka enggan untuk kembali ke Teluk Pakedai karena kehilangan sosok panutan. Bahkan keluarga dan murid-murid Haji Ismail Mundu melaksanakan tahlilan dan do’a arwah seolah-olah Haji Ismail Mundu benar-benar meninggal. Bahkan rumah Haji Ismail Mundu yang berada di dekat masjid Batu dijual oleh keluarganya, karena berpikir tidak akan ada lagi yang menempati rumah tersebut.
         Pada tahun 1948 saat Sultan Hamid II menunaikan ibadah Haji ke tanah suci Makkah, beliau bertemu dengan Haji Ismail Mundu. Saat pertemuan inilah Sultan Hamid II bercerita tentang kondisi yang terjadi, dimana Haji Ismail Mundu dianggap sudah meninggal bahkan sampai dibacakan do’a arwah dan berita bahwa Indonesia sudah merdeka. Pada kesempatan ini Sultan Hamid II mengajak Haji Ismail Mundu untuk pulang ke Indonesia, agar berita ini tidak berkepanjangan. Haji Ismail Mundu pun pulang ke Indonesia dengan menumpang kapal dan biayanya gratis karena ditanggung oleh Ratu Wilhelmina. Sebelum pulang ke Teluk Pakedai Haji Ismail Mundu singgah dulu untuk menemui sahabatnya di Bogor, dan singgah sebentar di siantan.

         Setelah singgah sebentar di siantan, Haji Ismail Mundu pulang ke Teluk Pakedai diikuti oleh keluarga dan murid-muridnya. Rumah yang sebelumnya telah dijual pun akhirnya dibeli kembali oleh beliau. Meskipun Haji Ismail Mundu telah kembali ke Teluk Pakedai, kondisi Teluk Pakedai tidaklah seramai seperti dulu. Hal ini dikarenakan banyak dari mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetap di tempat tinggalnya yang baru, sehingga mereka enggan untuk kembali ke Teluk Pakedai. Hal inilah yang membuat Haji Ismail Mundu berinisiatif untuk melaksanakan peringatan Isra’ Mi’raj dan Maulid di masjid Batu, hal ini dilakukan agar tali silaturahmi antar murid-muridnya dapat terus terjalin. Kondisi masjid Batu pun sudah mulai sedikit ramai dan Haji Ismail Mundu kembali mengajar agama di masjid Batu.

2.      Periode 1961-2002
         Masjid Batu pertama kali di renovasi pada tahun 1960, hal ini dikarenakan kondisi masjid yang sudah mulai rusak, atap masjid pun sudah banyak yang bocor. Hal ini dirasa wajar mengingat usia masjid yang sudah melebihi tiga puluh tahun dan belum pernah direnovasi sama sekali. Masjid juga kurang terawat kondisinya, karena setelah kedatangan Jepang ke Teluk Pakedai banyak masyarakat Teluk Pakedai yang pindah untuk menghindari kekejaman tentara Jepang, sehingga kondisi Teluk Pakedai pasca kedatangan Jepang sampai tahun 1955 sangat sepi. Kurang terawatnya masjid membuat kondisi masjid menjadi lebih cepat rusak, hal inilah yang menjadi alasan utama renovasi masjid.
         Pada saat renovasi masjid pertama ini, Haji Ismail Mundu sudah wafat. Koordinator renovasi masjid adalah Haji Abbas Bin Haji Supuk, selaku ketua pengurus masjid. Sedangkan dana pembangunan masjid dihimpun dari murid-murid dan pengurus masjid saat itu, diantaranya Haji Doeng, Haji Ali Haruna, Haji Burhan, Haji Muhtar, dan Haji Muhammad. Pada saat renovasi pertama ini ditemukan nama “Nasrullah” yang letaknya di kubah masjid, sehingga diketahui nama masjid yang sebenarnya adalah Nasrullah. Ada kemungkinan nama Nasrullah merupakan pemberian dari Haji Ismail Mundu, tetapi karena letaknya yang tersembunyi membuat nama masjid yang sebenarnya tidak diketahui sampai tahun 1960. Arti dari Nasrullah sendiri adalah “pertolongan Allah”, sejak saat itu masjid Batu juga dikenal dengan nama masjid Nasrullah. Renovasi masjid sendiri akhirnya selesai pada tahun 1963, dengan terjadi perubahan pada kubah masjid yang awalnya memiliki satu kubah yang berbentuk segi enam, menjadi dua kubah berbentuk kerucut.
         Pada tahun 1967 terjadi peristiwa kelam di Kalimantan Barat, yaitu peristiwa mangkok merah yang merupaka peristiwa penumpasan PGRS-Paraku. Orang-orang Cina yang menjadi sasaran penumpasan ini melarikan diri sejauh mungkin dan ada yang sampai ke Teluk Pakedai. Mayoritas orang-orang Cina yang ada di Teluk Pakedai merupakan pengungsi akibat peristiwa mangkok merah di Bengkayang. Kebutuhan untuk mencari bahan makanan dan lari sejauh mungkin membawa mereka sampai ke Teluk Pakedai. Dengan kedatangan orang-orang Cina, kondisi Teluk Pakedai menjadi ramai kembali dan memicu kembalinya orang-orang Bugis ke Teluk Pakedai. Meskipun demikian orang-orang Bugis dan Cina di Teluk Pakedai hidup berdampingan, bahkan ada orang Cina yang masuk Islam. Selain itu ada juga yang meskipun tidak masuk Islam, tetapi menjadi penyumbang dana dalam perawatan dan perenovasian Mesjid Batu.
         Pada tahun 1982 masjid Batu kembali mengalami renovasi, hal ini dikarenakan banyak atap yang sudah bocor. Inisiatif renovasi masjid adalah Haji Ibrahim bin Haji Basir dan diketuai oleh Wak Amik bin Daeng Magangka. Sedangkan dana renovasi masjid diperoleh dari infak masjid dan sumbangan jama’ah masjid. Selain itu pada renovasi kedua ini masjid juga mendapat bantuan dari pemerintah Kabupaten Pontianak (saat itu Teluk Pakedai masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Pontianak). Pada renovasi ini terdapat beberapa perubahan yaitu kubah masjid yang bertambah dari dua menjadi tiga dengan bentuk tetap kerucut, tetapi jaraknya yang dibuat sedikit jauh. Hal ini dikarenakan masjid juga diperluas ukurannya, tujuannya adalah agar bisa menampung jama’ah yang lebih banyak.

3.      Periode 2003-2014
         Pada tahun 2003 masjid Batu kembali mengalami renovasi, renovasi yang dilakukan kali ini bertujuan untuk memperindah dan memperluas masjid. Dari hasil musyawarah terpilihlah Haji Rifa’i Bin Haji Abbas sebagai ketua pembangunan, beliau dibantu oleh pengurus masjid yang saat itu diketuai oleh Acong Bin Abdul Hamid. Renovasi yang ketiga ini menghabiskan dana sebesar tujuh puluh juta rupiah, dana untuk renovasi diperoleh dari sumbangan Bupati Kabupaten Pontianak saat itu Agus Salim. Bentuk masjid tidak banyak yang berubah dari sebelumnya, karena hanya dilakukan perbaikan dan perluasan masjid, serta memperbaharui kubah masjid.
         Renovasi terakhir masjid Batu dilakukan pada tahun 2009, hal ini dilakukan dalam rangka perbaikan masjid. Selain perbaikan masjid, akses jalan menuju ke masjid Batu juga diperbaiki. Dana renovasi masjid diperoleh dari sumbangan para Hamba Allah dan jama’ah masjid. Sedangkan dana perbaikan jalan diperoleh dari pemerintah Kabupaten Kubu Raya (Teluk Pakedai masuk ke wilayah administratif Kubu Raya saat pemekaran Kabupaten) dan Bupati Kubu Raya saat itu Muda Mahendrawan. Pada renovasi tahun 2009 ini terjadi perubahan bentuk kubah masjid, yaitu menyerupai bentuk awal yang terdiri dari satu kubah berbentuk segi enam.

         Hari besar agama islam diperingati di masjid Batu sejak Haji Ismail Mundu masih hidup sampai sekarang, yang diperingati adalah peringatan Isra’ Mi’raj dan Maulid Nabi Muhammad. Tujuan dari diperingatinya Isra’ Mi’raj dan Maulid adalah sebagai pengingat kepada umat muslim tentang tauladan nabi Muhammad SAW, selain itu tujuan dari diperingatinya Isra’ Mi’raj dan Maulid di masjid Batu adalah untuk mempererat tali silaturahmi antara umat muslim. Khususnya diantara murid-murid Haji Ismail Mundu yang saat itu berasal dari berbagai macam daerah, dengan kegiatan Isra’ Mi’raj dan Maulid nabi ini maka murid-murid Haji Ismail Mundu dapat berkumpul dan bertatap muka antara satu sama lainnya. Saat Haji Ismail Mundu masih hidup, koordinator acara dipimpin langsung oleh beliau. Kemudian setelah beliau wafat, maka koordinator acara berganti-ganti berdasarkan hasil musyawarah.
            Berikut adalah koordinator peringatan Isra’ Mi’raj dan Maulid di masjid Batu :
·         Di koordinir oleh Haji Ismail Mundu sampai tahun 1957
·         Haji Doeng 1957-1971
·         Haji Ibrahim bin Haji Basir 1971-1988
·         Haji Abdul Razak 1988-1998
·         Haji Harun A. Rasyid 1998-2004
·         Haji Riva’i bin Haji Abbas 2004-2006
·         Haji Mahmud bin Haji Ali 2006-2008
·         Haji Riva’i bin Haji Abbas 2008-sekarang
Mesjid Batu saat ini sudah tidak seramai dulu dikunjungi, baik oleh warga Teluk Pakedai maupun luar Teluk Pakedai. Padahal dulunya setiap tahun selalu ramai orang yang datang untuk berkunjung dan berziarah ke Makam Haji Ismail Mundu, karena banyak dari mereka yang percaya apabila memiliki nazar atau keinginan dan berkunjung ke Mesjid Batu dan Makam Haji Ismail Mundu, maka keinginannya akan terlaksana, hal ini dikarenakan Haji Ismail Mundu dianggap orang yang Alim, sehingga apabila mereka berdo’a di tempat ini maka do’a mereka akan ikut diaminkan oleh Haji Ismail Mundu. Alasan lain yang membuat Mesjid Batu tidak lagi ramai dikunjungi adalah karena mahalnya biaya transportasi dan jalur akses menuju Mesjid Batu yang sulit karena rusaknya jalan. Mesjid Batu saat ini hanya ramai saat momen-momen tertentu seperti Maulid Nabi dan Isra’ Mi’raj.


BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
      Masjid Batu terletak di Jalan Sepakat desa Teluk Pakedai Hulu, kecamatan Teluk Pakedai kabupaten Kubu Raya. Jarak dari pusat kecamatan menuju ke masjid Batu tidaklah terlalu jauh, sekitar ±3KM dari pasar Selat Remis. Masjid Batu berdiri pada tanggal 4 Dzulhijjah 1345 H (1926 M), merupakan masjid pertama di kecamatan Teluk Pakedai. Masjid ini dinamakan masjid Batu karena struktur bangunan masjid yang mayoritas terdiri dari batu bata, bahkan dalam rancangan awal masjid Batu sendiri rencananya tidak menggunakan kayu sama sekali dan hanya menggunakan batu. sehingga saat nama masjid ini belum diketahui namanya, masyarakat sekitar menyebutnya dengan masjid Batu. Masjid Batu didirikan sebagai tempat ibadah bagi umat muslim Teluk Pakedai, karena keberadaan masjid sangat penting bagi umat muslim. Dengan bertambahnya jumlah umat muslim di Teluk Pakedai, maka dibutuhkan juga tempat ibadah yang lebih besar. Haji Ismail Mundu beserta murid dan sahabat karibnya Haji Haruna Bin Haji Ismail, memiliki inisiatif untuk mendirikan masjid.
      Awal kedatangan orang-orang Bugis ke Teluk Pakedai disinyalir datang pada awal abad 18, orang-orang Bugis yang terkenal dengan kemampuan berlayarnya sampai di Kalimantan Barat. Ada yang singgah di Mempawah, ada yang di Kakap, dan ada yang singgah di Teluk Pakedai. Orang-orang Bugis yang datang ke Teluk Pakedai berasal dari Sulawesi Selatan dan masih ada hubungan dengan Daeng Manambon (orang bugis mempawah). Nama nahkoda yang memimpin kedatangan orang-orang Bugis ke Teluk Pakedai bernama Nahkoda Nongkoh. Orang-orang Bugis yang datang ke Teluk Pakedai merupakan orang-orang Bugis pelarian kerja paksa Belanda, keinginan untuk lepas dari kerja paksa membuat mereka ingin mencari daerah baru dan akhirnya sampai ke Teluk Pakedai.
B.     Saran
      Masjid Batu adalah salah satu situs sejarah lokal yang sudah sepatutnya dijaga dengan baik, tapi semua itu akan percuma tanpa adanya dukungan dari pemerintah setempat. Akses jalan yang sulit menjadi kendala tersendiri bagi mereka yang ingin mengunjungi masjid Batu, jalan yang kecil dan rusak, serta jembatan yang kurang baik menjadi hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Padahal dulunya masjid Batu sangat ramai dikunjungi, bahkan oleh orang-orang diluar Kubu Raya. Jika dimanfaatkan dengan baik, maka masjid Batu bisa menjadi situs sejarah yang akan membuka lapangan pekerjaan untuk warga sekitar. Saat ini yang sangat perlu perhatian dari pemerintah adalah perbaikan jembatan, dari 13 jembatan yang harus dilalui untuk sampai ke masjid Batu, hampir semuanya dalam kondisi kurang baik. Jadi sangat diharapkan perhatian dari pemerintah, agar jembatan dapat segera diperbaiki.


Daftar Pustaka
Rasyid, Harun. A, dkk. 2006. Biografi Guru Haji Ismail Mundu Mufti
      Kerajaan Kubu. Pontianak : Kitara Creativision.
Rasyid, Harun. A, dkk. 2006. Strategi Dakwah Guru Haji Ismail Mundu.
      Pontianak : Kitara Creativision.

LAMPIRAN




















3 komentar: